Kamis, 03 April 2014

MATAHARI YANG SEMPURNA


Hai malam. hai angin. boleh aku sedikit bercerita?
Ini kisah yang berbeda dari yang sebelum sebelumnya..
Kau boleh bilang ini tentang seseorang yang jatuh cinta diam diam.
kau bisa bilang ini tentang seseorang pengecut yg tak berani berkata.
Atau kau boleh berkata ini tentang seorang pengagum rahasia. YA!

Kau ada bersama terik matahari yang menyengat,kemarin.
Siang, siang bersama matahari nya yang begitu arogan.
Tapi ku rasa lebih arogan kau.

Kau dengan seragam coklatmu yang berpeluh keringat.
Aku tau kau mulai begitu menggilai permainan temuan James Naismith itu.
Hingga kau tak peduli apapun seragam yang kau kenakan saat itu.
mungkin sama seperti kau yang tak peduli dengan ku yang berada di sudut sana.

Kau dengan celana coklatmu yang membungkus dua tungkai lincah itu.
Kau sibuk berlarian kesana kemari.
Meloncat,melempar,menggiring,mengerjar.
Dengan sekali waktu terlihat merapikan rambut.

Kau dengan teman laki-lakimu
Dan sebuah bola yang kalian rebut mati-matian.

Aku dengan seragam yang sama seperti yang kau kenakan.
Berdiri di sudut ujung belakang bangunan sederhana.
Dengan sesekali bertopang dagu dia atas kayu yang di fungsikan sebagai pagar itu.

Aku dengan teman-temanku. mereka sedang mengoceh seru.
Entahlah sesekali aku merespon mereka dengan tawa hambar.
Tapi ekor mataku tak pernah lepas dari sosokmu disana.
kau dan pesonamu. Aku tertegun.

Aku ingat beberapa kali kita pernah berpapasan.
kebetulan-kebetulan tidak sengaja yang kuanggap hadiah.
Pertemuan di persimpangan kelas,kantin,lapangan,acara sekolah.
Dan semua hal sederhana itu terasa istimewa.
setidaknya, olehku.

Aku mengangkat wajah, menoleh padamu yang bergerak meninggalkan lapangan.
Rambutmu basah dan sinar matahari membuatnya sempurna.
Jangan menoleh... jangan menoleh.
biarkan aku menimkati pemandangan ini lebih lama.

Tunggu! Mata kami saling bertemu!


YA! Jantungku.
Jantungku hampir ingin berhenti berdetak sekarang.
Tuhan skip moment ini.
Aku bergegas menundukan wajah.
Warna merah jambu itu menjalar di pipi.

Aku menahan nafas, bahkan untuk sekedar bertatap pandang saja aku tak mampu.





0 komentar:

Posting Komentar